Bung Tomo, Pahlawan yang Sempat Tak Diakui
“Selama banteng-banteng
Indonesia masih mempoenjai darah merah jang dapat membikin setjarik kain
poetih mendjadi merah & putih, maka selama itoe tidak akan kita
maoe menjerah kepada siapapoen djuga!”
- Bung Tomo -
Siapa tak kenal Sutomo? Pria yang
hampir selalu digambarkan dengan sosok penuh semangat, jari menunjuk ke
atas dan tatapan mata tajam di buku-buku pelajaran itu adalah seorang
tokoh penting dalam pertempuran besar di Surabaya. Sosok penyebar
semangat arek-arek Surabaya yang namanya didengung-dengungkan terutama
menjelang Hari Pahlawan yang diperingati setiap tanggal 10 November itu
dikenal sebagai Singa Podium yang pidatonya bukan hanya menghipnotis
tapi juga mampu membakar jiwa-jiwa muda yang sedang berjuang melawan
Belanda yang ingin kembali menjajah Indonesia pada masa itu.
Lahir di Surabaya pada 3 Oktober 1920,
Sutomo atau lebih dikenal sebagai Bung Tomo adalah sosok yang aktif
berorganisasi sejak remaja. Tumbuh di masa-masa sulit, masa penjajahan,
Bung Tomo menjelma menjadi seorang pemuda yang tangguh. Tertarik dengan
dunia jurnalisme, pada masa mudanya Bung Tomo tercatat sebagai wartawan freelance pada Harian Soeara Oemoem di Surabaya 1937. Pada tahun 1939 Bung Tomo menjadi wartawan dan penulis pojok harian berbahasa Jawa di Ekspres, Surabaya. Terakhir beliau tercatat sebagai Pemimpin Redaksi Kantor Berita Indonesia Antara di Surabaya 1945.
Jiwa kepahlawanan Bung Tomo tidak perlu
diragukan lagi. Sejarah mencatat seorang Bung Tomo sebagai sosok yang
cinta tanah air, tak gentar melawan penjajah dan terus mengobarkan
semangat para pejuang pada masanya. Sosok yang namanya telah melekat
erat pada rakyat Indonesia umumnya serta warga Surabaya, arek-arek
Surabaya khususnya, sebagai seorang pahlawan ini ternyata baru mendapat
gelar pahlawan setelah dua puluh tujuh tahun wafat.
Sosok yang sejak kita sekolah, diajarkan
di pelajaran sejarah, kita anggap sebagai pahlawan karena perjuangannya
mulai dari melawan penjajah sampai mempertahankan kedaulatan republik
ini yang sempat hendak diusik lagi oleh Belanda ternyata dulunya tidak
diakui sebagai pahlawan oleh pemerintah kita. Bung Tomo, pahlawan
pengobar semangat juang arek-arek Surabaya ini baru mendapat gelar
pahlawan secara resmi dari pemerintah pada tahun 2008, yang disahkan
melalui Keputusan Presiden Nomor 041/TK/TH 2008.
Sesuatu yang menimbulkan tanda tanya
besar, meski kemudian jika kita menilik kembali sepak terjang beliau
pada masanya hal ini tidak lagi mengejutkan. Bung Tomo bukan hanya
seorang pejuang yang kritis terhadap penjajah, beliau adalah sosok yang
juga kritis terhadap pemerintah. Pada jaman orde baru, pemerintahan
Soeharto, Bung Tomo bahkan sempat dipenjara. Kritik-krtitiknya terhadap
pemerintah waktu itu membuat gerah penguasa. Pemikiran-pemikirannya yang
kritis bisa dibaca di bukunya, Menembus Kabut Gelap: Bung Tomo Menggugat.
Menurut KBBI, pahlawan diartikan sebagai
orang yang menonjol karena keberanian dan pengorbanannya dalam membela
kebenaran; pejuang yang gagah berani. Kalau menilik pendefinisian di
atas kiranya tak salah kalau selama ini kita menganggap Bung Tomo
sebagai pahlawan meskipun, sekali lagi, ternyata pemerintah kita baru
mengakui belum lama ini. Akan tetapi terlepas dari pengakuan pemerintah,
ataupun pendefinisian, jasa Bung Tomo patut kita hargai. Bukan itu
saja, di masa di mana kita sudah dinyatakan, diakui merdeka tapi
ternyata masih “terjajah” ini, jiwa kepahlawanan seperti Bung Tomo
sangat dibutuhkan. Bangsa kita butuh pahlawan-pahlawan untuk membawa
bangsa ini menuju terwujudnya cita-cita bersama, cita-cita yang tertuang
dalam butir-butir Pancasila terutama sila kelima, “Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.” Cita-cita yang sepertinya masih sekadar pengakuan, tertulis, resmi, tapi belum benar-benar diamalkan.
Saya yakin Bung Tomo tidak butuh gelar
pahlawan. Seorang pahlawan sejati tidak butuh pengakuan, dari siapapun.
Bahkan, seorang pahlawan tidak akan merasa dirinya pahlawan karena dia
berjuang dengan niat yang ikhlas demi terwujudnya cita-cita bersama,
bukan untuk sebuah pengakuan atau sebutan pahlawan. Saya juga percaya
ada jiwa pahlawan pada setiap diri manusia. Diakui atau tidak, dihargai
atau tidak perjuangan kita, mengutip kata-kata Soe Hok Gie dalam bukunya
Catatan Seorang Demonstran, “Dan seorang pahlawan adalah seorang yang mengundurkan diri untuk dilupakan seperti kita melupakan yang mati untuk revolusi.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar