Kamis, 03 Oktober 2013

Bung Tomo, Pahlawan yang Sempat Tak Diakui

1351640513827723849

“Selama banteng-banteng Indonesia masih mempoenjai darah merah jang dapat membikin setjarik kain poetih mendjadi merah & putih, maka selama itoe tidak akan kita maoe menjerah kepada siapapoen djuga!”


- Bung Tomo -
Siapa tak kenal Sutomo? Pria yang hampir selalu digambarkan dengan sosok penuh semangat, jari menunjuk ke atas dan tatapan mata tajam di buku-buku pelajaran itu adalah seorang tokoh penting dalam pertempuran besar di Surabaya. Sosok penyebar semangat arek-arek Surabaya yang namanya didengung-dengungkan terutama menjelang Hari Pahlawan yang diperingati setiap tanggal 10 November itu dikenal sebagai Singa Podium yang pidatonya bukan hanya menghipnotis tapi juga mampu membakar jiwa-jiwa muda yang sedang berjuang melawan Belanda yang ingin kembali menjajah Indonesia pada masa itu.
Lahir di Surabaya pada 3 Oktober 1920, Sutomo atau lebih dikenal sebagai Bung Tomo adalah sosok yang aktif berorganisasi sejak remaja. Tumbuh di masa-masa sulit, masa penjajahan, Bung Tomo menjelma menjadi seorang pemuda yang tangguh. Tertarik dengan dunia jurnalisme, pada masa mudanya Bung Tomo tercatat sebagai wartawan freelance pada Harian Soeara Oemoem di Surabaya 1937. Pada tahun 1939 Bung Tomo menjadi wartawan dan penulis pojok harian berbahasa Jawa di Ekspres, Surabaya. Terakhir beliau tercatat sebagai Pemimpin Redaksi Kantor Berita Indonesia Antara di Surabaya 1945.
Jiwa kepahlawanan Bung Tomo tidak perlu diragukan lagi. Sejarah mencatat seorang Bung Tomo sebagai sosok yang cinta tanah air, tak gentar melawan penjajah dan terus mengobarkan semangat para pejuang pada masanya. Sosok yang namanya telah melekat erat pada rakyat Indonesia umumnya serta warga Surabaya, arek-arek Surabaya khususnya, sebagai seorang pahlawan ini ternyata baru mendapat gelar pahlawan setelah dua puluh tujuh tahun wafat.
Sosok yang sejak kita sekolah, diajarkan di pelajaran sejarah, kita anggap sebagai pahlawan karena perjuangannya mulai dari melawan penjajah sampai mempertahankan kedaulatan republik ini yang sempat hendak diusik lagi oleh Belanda ternyata dulunya tidak diakui sebagai pahlawan oleh pemerintah kita. Bung Tomo, pahlawan pengobar semangat juang arek-arek Surabaya ini baru mendapat gelar pahlawan secara resmi dari pemerintah pada tahun 2008, yang disahkan melalui Keputusan Presiden Nomor 041/TK/TH 2008.
Sesuatu yang menimbulkan tanda tanya besar, meski kemudian jika kita menilik kembali sepak terjang beliau pada masanya hal ini tidak lagi mengejutkan. Bung Tomo bukan hanya seorang pejuang yang kritis terhadap penjajah, beliau adalah sosok yang juga kritis terhadap pemerintah. Pada jaman orde baru, pemerintahan Soeharto, Bung Tomo bahkan sempat dipenjara. Kritik-krtitiknya terhadap pemerintah waktu itu membuat gerah penguasa. Pemikiran-pemikirannya yang kritis bisa dibaca di bukunya, Menembus Kabut Gelap: Bung Tomo Menggugat.
Menurut KBBI, pahlawan diartikan sebagai orang yang menonjol karena keberanian dan pengorbanannya dalam membela kebenaran; pejuang yang gagah berani. Kalau menilik pendefinisian di atas kiranya tak salah kalau selama ini kita menganggap Bung Tomo sebagai pahlawan meskipun, sekali lagi, ternyata pemerintah kita baru mengakui belum lama ini. Akan tetapi terlepas dari pengakuan pemerintah, ataupun pendefinisian, jasa Bung Tomo patut kita hargai. Bukan itu saja, di masa di mana kita sudah dinyatakan, diakui merdeka tapi ternyata masih “terjajah” ini, jiwa kepahlawanan seperti Bung Tomo sangat dibutuhkan. Bangsa kita butuh pahlawan-pahlawan untuk membawa bangsa ini menuju terwujudnya cita-cita bersama, cita-cita yang tertuang dalam butir-butir Pancasila terutama sila kelima, Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.” Cita-cita yang sepertinya masih sekadar pengakuan, tertulis, resmi, tapi belum benar-benar diamalkan.
Saya yakin Bung Tomo tidak butuh gelar pahlawan. Seorang pahlawan sejati tidak butuh pengakuan, dari siapapun. Bahkan, seorang pahlawan tidak akan merasa dirinya pahlawan karena dia berjuang dengan niat yang ikhlas demi terwujudnya cita-cita bersama, bukan untuk sebuah pengakuan atau sebutan pahlawan. Saya juga percaya ada jiwa pahlawan pada setiap diri manusia. Diakui atau tidak, dihargai atau tidak perjuangan kita, mengutip kata-kata Soe Hok Gie dalam bukunya Catatan Seorang Demonstran, “Dan seorang pahlawan adalah seorang yang mengundurkan diri untuk dilupakan seperti kita melupakan yang mati untuk revolusi.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar