Bila semua teman-temanku bernyanyi, aku hanya bisa terdiam. Aku tidak
pernah tau harus bagaimana mengatakan pada dunia bertapa aku sangat
ingin seperti mereka, bisa mendengar dan bernyanyi layaknya kehidupan
normal.
Sayangnya aku terlahir dengan keadaan tuli, lebih sadisnya terkadang
mereka orang-orang yang tidak pernah mengerti perasaanku berkata kalau
aku “ BUDEK” dan itu dituliskan di kertas untukkku tepat di meja
belajarku di kelas.
Tapi aku tidak pernah merasa ingin membalas semuanya, karena aku sadar inilah hidupku dan inilah takdirku.
Dulu semasa kecil mungkin aku tidak pernah merasa beban ini begitu
besar dalam hidupku, ketika menyadari aku beranjak remaja dan melihat
aku berbeda diantara sahabat-sahabatku. Di depan mading sekolahku
tertulis sebuah pengumuman pembentukan tim musik sekolah, aku ingin ikut
dalam tim itu tapi sayangnya aku hanya bisa meratapi nasibku. Aku pun
pulang untuk bertemu dengan ayah, aku terduduk dengan wajah penuh
kesedihan,
Dalam duniaku, hanya ayah yang bisa mengerti apa yang aku katakan.
Walaupun itu harus dengan bahasa tangan yang ia pelajari dengan susah
payah.
Aku mengetuk pintu untuk memberi tanda aku ada di kamar untuk bicara dengan ayah, ia melihatku dan melempar senyum.
“ Angel, ayo masuk. Silakan duduk disini nak, ada apa? Bagaimana pelajaran kelas kamu hari ini?”
Aku tertunduk, lalu ayah mulai bisa membaca wajahku.
“ Apa yang terjadi nak, ceritakan pada ayah?”
“ Ayah mengapa aku berbeda dari teman-temanku?”
“ Dalam hal?” tanya ayah padaku,
Aku menangis dan usiaku saat itu hanya 12 tahun dan duduk di sekolah menengah pertama.
“ Aku tidak bisa bernyanyi, tidak bisa mendengar.. Mengapa ayah?”
Ayah melihatku sambil tersenyum,
“ Apakah kamu merasa bersedih karena itu?”
“ Ya, aku sangat bersedih.. Aku ingin seperti mereka.. Bisa bernyanyi dan mendengarkan indahnya musik..”
“ Mengapa kamu ingin menjadi seperti mereka?”
“ Karena aku ingin menjadi tim musik sekolah, aku ingin ayah..”
“ Kalau begitu lakukan..”
Aku terdiam tidak bisa membalas pertanyaan ayah kemudian ia bangkit
dan mengajakku ke ruangan gudang di belakang rumahku, ia mulai
membersihkan debu-debu di sebuah meja panjang yang tadinya kupikir
adalah meja makan. Ternyata itu adalah piano klasik. Aku memperhatikanya
dengan heran,
“ Ini adalah peninggalan ibumu sebelum ia meninggal setelah
melahirkan kamu, ayah sudah tidak pernah mendengarkannya sejak kamu
terlahir..”
“ Lalu..?” tanyaku.
“ kamu mungkin terlahir tanpa bisa mendengar dan bernyanyi. Tapi kamu
terlahir dari rahim seorang ibu yang berjuang agar kamu ada di dunia ini
dan ayah percaya, Tuhan memberikan kamu dalam kehidupan karena kamu
memang layak untuk itu.”
“ Tapi aku cacat, tidak normal dan tidak akan pernah bisa mendengar musik? Bagaimana caranya aku bisa seperti teman-temanku.”
“ Sayang kamu memang tidak bisa mendengarkan musik, tapi kamu bisa memainkan musik?”
“ Bagaimana caranya?”
“ Ayah ada disini untuk kamu dan percayalah, musik itu akan terasa indah bila kamu merasakannya dari hati kamu. “
“ Walaupun aku tidak bisa mendengar..”
Ayah duduk dikursi dan menyuruhku memperhatikannya bermain piano, Ia menutup matanya lalu memainkan arunan toth piano itu.
“ Anakku, rasakanlah musik itu dalam hati dan kamu akan tau bertapa
Tuhan sangat mencintai siapapun makluk yang ia ciptakan. Walaupun kamu
terlahir dengan keadaan cacat dan tidak bisa mendengarkan suara musik
itu dari telinga kamu.. Kamu bisa dengarkan lewatkan hati kamu..”
Ayah mengajakku untuk menyentuh setiap toth piano dan kami bermain
bersama, aku memang tidak bisa merasakan apa suara music itu tapi aku
bisa merasakan nada dari jari yang ketekan dan itu membuatku bersemangat
untuk berlatih piano klasik, aku tau ibuku adalah seorang pemain piano
sebelum ia meninggal saat melahirkanku. Aku pun berjuang untuk bermain
musik dan perlahan aku mampu membuat sedikit alunan music yang indah.
Semua itu kurasakan dalam hatiku, semua itu kurasakan dalam jiwaku.
Beberapa minggu kemudian, aku mulai berani mendaftar dalam tim musik
sekolahku dan guruku menerimaku walaupun ia tau aku cacat tapi setelah
aku mainkan piano dan ia terkesan. Aku tau semua orang melihatku dengan
aneh, seorang teman bernama Agnes datang padaku.
“ Hai orang cacat, apa yang bisa kamu lakukan dengan telingamu yang tertutup kotoran?”
Yang lain tertawa dan menambah kalimat yang melukai hatiku,
“ Dia mungkin mau jadi badut diantara tim kita, biarkan saja..”
Ejekan itu berakhir saat guruku datang, mereka semua kembali ke posisi
mereka masing dalam alat music yang mereka kuasai. Ibu guru pembimbing
kelas musik bersikap hangat padaku, ia memperkenalkanku pada semuanya.
“ Anak-anak mulai hari ini Angel akan bergabung dalam tim kita, semoga kalian bisa berkerja sama dengan Angel ya..”
“ Ibu apa yang bisa lakukan untuk tim kita, dia kan budek?” ejek Agnes.
“ Agnes!! ibu tidak pernah mengajarkan kamu untuk menghina orang lain,
jaga sikap kamu. Walaupun Angel cacat secara fisik ia juga memiliki
perasaan, tolong kendalikan kata-kata kamu.”
Aku senang ibu membelaku tapi itu malah membuat semua membenciku, ibu
mempersilakan aku memainkan piano, dengan gugup aku bisa bermain dengan
baik. Tidak ada satupun tepuk tangan dari teman-temanku, hanya ibu guru
seorang. Ketika kelas bubar aku mendekat pada ibu guru, aku menuliskan
apa yang ingin aku katakan kepadanya, Ia membacanya.
“ Ibu , aku mundur saja dari tim, aku tidak mungkin bisa menjadi bagian
dari mereka. Karena aku ini cacat. Mereka tidak akan menerimaku?”
“ Tidak sayang, jangan berkata demikian, kamu special, kamu berbakat,
mereka hanya belum terbiasa, percayalah kalau kamu sudah sering bermain
dengan mereka. Kamu akan diterima dengan suka cita. Jadi ibu tidak mau
mendengarkan kalimat kamu ingin mundur..”
“ Tapi bu, aku takut bila membuat semua jadi kacau.”
“ Anakku, beberapa minggu lagi, sekolah ini akan merayakan hari ulang
tahunnya, ibu percaya kamulah satu-satunya orang yang layak mengisi
tempat di bagian piano, karena teman kamu Rika ( pianis sebelumnya)
telah mundur karena sakit cacar”
Aku pulang ke rumah dan memberi kabar kalau aku diterima dalam tim
musik sekolah, ayah begitu gembira menunggu saat-saat aku akan berada
dipanggung, ia terus melatih permainan pianoku. Aku tidak pernah cerita
bertapa aku sangat diremehkan oleh teman-teman se-timku yang hanya
menganggap aku sampah yang tidak layak disamping mereka. Mereka sering
memarahi aku dengan kata-kata kasar lalu mereka menghinaku sebagai gadis
caca, hal itu terus terjadi disaat kami berlatih persiapan untuk
panggung sekolah . Mereka tidak pernah peduli apa yang kumainkan bila
benar, mereka selalu bilang salah. Padahal aku yakin aku benar-benar
memainkan musik piano ini, sedihnya saat aku bertanya dimana letak
kesalahanku yang mereka jawab lebih menyakitkan.
“ Kamu ini tuli dan budek, bagaimana bisa kamu tau alunan musik yang
kamu mainkan itu benar atau salah? Kamu membuat aku muak dengan sikap
kamu yang sok pintar dan mencari muka di depan bu guru.” Kata Agnes
padaku.
Aku menangis mendengarkan kalimat itu, aku berlari pulang ke rumah dan
satu-satunya kalimat yang kudengar hanya satu. “ Pergi kamu gadis cacat,
jangan pernah kembali ke tim kami, kami tidak sudi menerima kamu dalam
kelompok ini.”
Aku menangis hingga di depan rumahku dan ketika aku tiba di gerbang
rumahku, sebuah mobil ambulan ada didepan rumahku dan membawa ayah. Aku
mengejar perawat yang membawa ayah, ayahku tampak tertidur tanpa bicara,
seorang tetanggaku berkata padaku.
“ Ayahmu terkena serangan jantung, kamu ikut tante saja. Kita pergi bersama-sama ke rumah sakit.”
Aku shock dan menangis! Bagaimana hidupku tanpa ayah? Sepanjang
perjalanan aku terus menitihkan air mata. Ayah tidak sadarkan diri sejak
sakit jantungnya kambuh, ia memang memiliki sakit jantung sejak menikah
padahal usianya masih sangat muda. tiga hari lamanya aku menemani ayah
yang tidak pernah sadarkan diri. Tiga hari pula aku tidak pernah ke
sekolah, bu guru bertanya pada Agnes mengapa aku tidak masuk hari ini?”
“ Mungkin Angel merasa tidak sanggup lagi bergabung dengan tim kita, dia
itu bodoh bu! Selalu melakukan kesalahan dan dia pergi begitu saja saat
latihan dan tidak pernah kembali hingga saat ini.”
Ibu guru mencoba pergi ke rumahku, tapi tidak ada seorang pun orang
dirumahku. Aku tau beberapa hari lagi perayaaan musik di sekolahku akan
dimulai. Mungkin memang sudah menjadi garis tangan hidupku, aku tidak
boleh menjadi tim sekolah. Padahal aku sudah berjuang maksimal berlatih
piano di rumah. Tapi aku tidak bisa berbuat apa-apa selain menjaga
ayahku karena ia lebih penting dalam hidupku, ia satu-satunya sahabatku
yang bisa mengerti keadaan ku setelah ibu meninggal dunia.
Ya Tuhan jangan ambil ayahku, doaku setiap saat kepadanya
Seminggu kemudian,
Ayah tersadar dan melihat aku disampingnya. Ia tidak bisa bicara
banyak, selain bertanya mengapa aku disini, mengapa aku tidak berlatih
bersama tim musik disekolahku, aku berpura-pura berkata padanya kalau
mereka memberikan aku izin menjaga ayah. Ayah marah padaku, ia bilang
aku harus segera latihan dan ia ingin aku tampil disana.
“ Jangan pedulikan ayah saat ini, yang penting kamu harus bisa
buktikan kepada semua orang kalau kamu bisa bermain musik dan tunjukkan
kepada mereka kamu gadis yang sempurna ”
Aku tau itu berat, tapi aku tidak ingin ayah bersedih mendengar
penolakkan sahabatku di sekolah, ia berjanji padaku akan lekas sembuh
asal aku terus bersemangat latihan musik. Akhirnya aku pun pergi ke
sekolah kembali dan masuk ke kelas musik. Ibu guru menyambutku dengan
baik, dan langsung memintaku berlatih. Setelah ia pergi, Agnes dan
kawan-kawan mendekatiku, mereka mendorongku hingga terjatuh.
“ Kamu itu makluk Tuhan paling menjijikan, jangan membuat tim kami
malu dengan kehadiran kamu di tim music kami. tidak punya malu, padahal
kami sudah mengusirmu..”
Aku terdiam, seorang teman mengatakan pada Agnes,
“ Percuma dia tuli, dia ga akan mendengarkan apa yang kita bicarakan.”
Agnes marah merasa aku tidak mendengarkan semua kemarahannya, Ia bersama
teman-teman mendorongku hingga keluar ruangan, aku mengetuk pintu dan
ketika tanganku berusaha membuka pintu, mereka menjepit tanganku tanpa
ampun, aku berteriak kesakitan dan mereka tidak peduli
“ Astaga dia bisa menjerit juga ya.. kirain dia itu bisu, bisa teriak juga hahaha “ ledek mereka.
Mereka menyiksaku dan aku tidak berdaya. Tanganku terasa mati rasa,
mungkin jariku patah. Aku meminta tetanggaku untuk membalut luka ini dan
ia sangat terkejut dengan keadaanku. Aku berkata padanya aku terjatuh
di jalan. Tapi aku tidak akan pernah menyerah untuk menjadi tim musik
kelasku. Hingga hari itu tiba, dengan luka balut tanganku aku muncul di
sekolah. Sebelumnya aku mengatakan pada ayah .
“ Ayah hari ini aku akan bermain musik dihadapan semua orang, ayah harus mendengarkan ya. “
“ Anakku, ayah pasti mendengarkan. Maaf saat ini ayah sedang sakit, ini
adalah hari istemewamu. Tapi ayah sudah pikirkan bagaimana caranya.
Ambil telepon genggam ayah dan biarkan itu menyala saat kamu mainkan.”
“ Baik ayah.” Aku menuruti ide cermerlang ayah.
Saat aku keluar ruangan, dokter mengatakan hal kecil disamping ayah “
Jantung anda melemah, anda harus terus berpikir positif sehingga cepat
sembuh”
“ Anak saya akan manggung hari ini, itu membuat saya cemas”
“ Percayalah , anak anda adalah gadis luar biasa..”
Aku menangis menuju sekolahku, Saat aku tiba di sekolah, Agnes dan
kawan-kawan melihatku dengan jijik. Sepertinya mereka tidak mau aku di
panggung, mereka manarik bajuku dan menamparku di belakang panggung.
“ Pergi cepat, jangan pernah ada disini, kami akan tampil tanpa kamu. Cepat pergi? Sebelum ibu guru datang”
Tidak, aku tidak akan menyerah walaupun mereka menyiksaku. Aku sudah
berjanji pada ayah untuk bermain musik di acara sekolah. Karena mereka
mendapatkan aku tidak menyerah, akhirnya mereka mengancam tidak akan
tampil dan memaksa aku tampil seorang diri, mereka ingin membuatku malu.
“ Baiklah, kami tidak akan tampil. Dan silakan kamu tampil sendirian, jadilah badut diatas panggung..”
Aku tidak mampu berbuat apa-apa ketika mereka mengikat rambutku layaknya
orang bodoh, memoles mukaku dengan cat warna merah menyerupai badut
sirkus. Aku tidak peduli, aku hanya ingin ayah bahagia dan menepati
janji kepada ayah untuk tampil dalam panggung itu. Setelah puas
mendandaniku seperti badut mereka pergi mendorong aku diatas panggung
saat ibu guru yang bertugas menjadi pembaca acara memanggil tim kami dan
aku muncul sendirian, mereka semua berlarian mengumpat.
“ DImana yang lain?” tanya ibu guru,
Aku terdiam, semua orang yang ada di bangku penonton menertawakan aku,
mereka melihat badut yang sedang berada diatas panggung, aku sungguh
tidak bisa berbuat-apa ap.
“ Astaga apa yang terjadi padamu dan yang lain pergi kemana? Kita tidak akan bisa menjalankan acara music ini.”
Aku mengambil kertas dan menuliskannya
“ Bu, izinkanlah aku bermain piano ini, aku sudah berjanji pada ayah
untuk bermain piano , ia sedang terbaring lemas di rumah sakit,
jantungnya melemah hari ini, aku takut ia akan semakin buruk bila tau
aku gagal bermain bersama tim musik di sekolah”
Ibu menatapku, ia sadar bertapa aku sangat sulit.
“ Baiklah mainkanlah piano ini, tunjukkan pada dunia kalau kamu adalah orang special dengan musikmu”
“ Terima kasih bu.”
Ibu guru memberikan kata-kata sambutan kepada penonton yang terus
tertawa karena melihat badut sepertiku, tapi aku tidak peduli. Dengan
keunggulan 3g, aku mengadakan video call dan ayah tersenyum padaku
memberikan semangat, keletakkan telepon itu diatas meja piano.
“Tuhan bimbing aku agar semua berjalan dengan baik. Dan dengarkanlah musik ini..”
Setiap denting musik mulai memecahkan semua tawa yang awalnya
menghujatku, menghinaku, arunan musik ini membawa perjalanan kisahku
untuk berjuang menunjukkan pada dunia, aku memang terlahir cacat, aku
tidak pernah tau apa artinya musik, tidak tau bagaimana suara burung,
suara ayah bahkan tragisnya aku tidak pernah tau suara yang keluar dari
mulutku sendiri.
Tapi aku percaya, aku tercipta bukan tanpa tujuan dalam dunia ini.
ketika lagu itu usai kumainkan, semua berdiri dan memberikan tepuk
tangan, aku menangis. ibu guru memelukku, aku ingin ibu menyampaikan
pesanku kepada penonton.
“ Terima kasih, memberikan aku kesempatan untuk berada ditempat ini.
Kini aku tau mengapa aku berbeda, karena Tuhan mencintaiku. Aku tidak
akan marah pada Agnes dan teman-teman, aku bersyukur karena mereka
mengajarkan aku tentang ketekunan dan ikhlas. Termasuk ayah, yang selalu
bilang padaku “ kita tidak perlu merasa sedih dengan keadaan kita,
bagaimanapun bentuknya. Karena Tuhan memberikan kita nafas kehidupan
dengan tujuan hidup masing-masing”
Ya aku percaya itu.